Oleh
: Hasna S. Rasyidah, Asma Khoirunnisa dan Alfi Mawaddatur Rahmah
PENDAHULUAN
Abad
14 dan 15 merupakan masa yang paling menentukan bagi seluruh umat beragama.
Masa penuh penemuan namun sekaligus masa kegelisahan bagi umat beragama. Di mana
revolusi industri serta beragam penemuan berharga lainnya merajai Barat. Masa
revolusi juga menimbulkan pembaharuan pemikiran keagamaan. Beberapa agamawan memberikan
gagasan yang amat berpengaruh dan membawa angin segar bagi masyarakat karena sebelumnya
mereka dicekoki oleh sains tanpa agama yang digagas oleh filosof masa
pencerahan. Kesadaran bertuhan kembali tumbuh, barangkali karena mereka
merasakan adanya kekosongan spiritual yang menyebabkan rasa tidak puas akan hasil
yang mereka capai di bidang sains.
Baik
Yahudi, Katolik maupun Islam masing-masing memiliki agamawan yang sekaligus
merupakan reformis. Maka dari sisi itulah penulis akan memaparkan beberapa pemikiran
para reformis dan gerakan-gerakan mereka dalam rangka menuai perbaikan di bidang
keagamaan, tentunya.
PEMBAHASAN
Masyarakat
Barat mulai menaruh perhatian kepada iman dan ketuhanan melebihi tahun-tahun
sebelumnya. Sebab, orang awam tidak terlalu puas tidak dengan konsep ketuhanan
mereka selama ini. Maka para Reformis menyuarakan kegelisahan mereka. Ini
terlihat ketika kaum Reformis, atau kaum pembaharu keagamawan menyeru
penganutnya untuk meninggalkan kesetiaaan lahiriah kepada orang suci juga
malaikat dan lebih memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Maka mulai saat
itu terpecahlah Eropa menjadi dua kubu keagamaan, Katolik dan Protestan, yang
sampai sekarang pun tidak lepas dari saling kecurigaan dan kebencian.
Begitu pula yang dialami oleh kaum Yahudi. Keterusiran
mereka dari Spanyol yang ketika itu dikuasai oleh Ferdinand dan Isabella pada
Januari 1952, menyisakan rasa
ketertolakan yang menancap kuat di dasar sanubari mereka. Peristiwa itu
disesali oleh seluruh Yahudi di dunia. Karena pengusiran lebih dari 150.000
orang Yahudi Spanyol itu merupakan pengusiran terbesar kedua setelah peristiwa
penghancuran kuil mereka pada 70 M. Tetapi pengalaman tragis ini merupakan
cikal bakal bagi perkembangan konsepsi baru ketuhanan mereka dan pertumbuhan
Kabbalah. Para pengungsi Spanyol itu perlu menyesuaikan visinya agar bisa
menyuarakan kondisi kejiwaan khas mereka. Mereka membutuhkan energi spiritual
yang dapat mendukung mereka. Tetapi mereka menemukan solusi imajinatif luar
biasa yang menyamakan keterusiran mutlak dengan Ketuhanan mutlak dalam konsepsi
ketuhanan yang dibawa Isaac Luriac (1534-1572).
Kebanyakan
mistikus Yahudi enggan untuk membicarakan pengalaman mereka tentang Tuhan.
Berbeda dengan Isaac Luriac, pahlawan dan orang suci Kabbalisme Safed, yang
mencoba menjelaskan paradoks transendensi dan imanensi ilahi secara lebih lengkap
dengan salah satu ide paling mencengangkan yang pernah diformulasikan tentang
Tuhan. Ia yang juga disebut Ari, atau Lion Kudus (nama adalah singkatan untuk
Isaac Rabi Elohi, atau Isaac Rabi Godly, beberapa sumber mengakatakan bahwa ia adalah keturunan dari Ashkenazic,
meskipun ia juga sering dikaitkan dengan buangan Spanyol)[1]
mengangkat pertanyan-pertanyaan yang mengusik kaum monoteis; bagaimana mungkin Tuhan yang sempurna dan tak
terbatas telah menciptakan sebuah dunia yang terbatas dan sarat dengan kejahatan?
Dari mana kejahatan itu berasal? Luria menemukan jawabannya dengan cara
membayangkan apa yang terjadi sebelum emanasi sefiroth, ketika En Sof
telah mengalihkan dirinya sendiri ke dalam introspeksi yang sublim. Demi
menyediakan ruang bagi dunia, demikian Luria menduga, En Sof,
seolah-olah, mengosongkan sebuah kawasan di dalam dirinya sendiri. Dalam
tindakan "pengerutan" atau "penarikan diri" (tsimtsum) ini,
Tuhan telah menciptakan sebuah tempat yang dia tidak berada di dalamnya, sebuah
ruang kosong yang dapat diisinya melalui proses pewahyuan diri dan penciptaan yang
terjadi secara serempak. Ini merupakan upaya yang sangat berani dalam
mengilustrasikan doktrin penciptaan ex nihilo yang sulit: tindakan paling awal
dari En Sof adalah "pengucilan sebagian dirinya atas kehendaknya
sendiri" . tsimtsum pada dasarnya merupakan simbol keterusiran, yang
mendasari struktur seluruh eksistensi tercipta dan telah dialami oleh En Sof
sendiri. "Ruang kosong" yang diciptakan oleh penarikan diri Tuhan
dikonsepsikan sebagai sebuah lingkaran yang dikelilingi oleh En Sof di
semua sisinya. Ini adalah sebuah ide yang tidak berbeda dengan kenosis
primordial yang pernah dibayangkan oleh orang Kristen di dalam Trinitas, yakni
ketika Tuhan mengosongkan diri ke dalam Putranya melalui tindakan ekspresi
diri.
Konsep Ketuhanan yang
diusung Isaac Luria: Ein Sof · Tzimtzum ·
Ohr · Sephirot ·
Four
Worlds · Seder hishtalshelus · Tree of Life · Merkavah ·
Jewish angelic hierarchy · Shemhamphorasch ·
Shechina ·
Kelipot ·
Tikkun ·
Sparks
of holiness · Messianic rectification in Kabbalah · Gilgul ·
Ibbur ·
Kabbalistic astrology · Gematria ·
Notarikon ·
Temurah · Tzadik ·
Tzadikim Nistarim · Panentheism
Selama
abad kelima belas dan keenam belas berdiri tiga kekaisaran baru Islam:
kekaisaran Turki Usmani di Asia Kecil dan Eropa Timur, kekaisaran Shafawi di Iran,
dan kekaisaran Moghul di India[3].
Ini membuktikan bahwa umat Islam masih memegang kekuatan terpenting di dunia.
Mereka masih menjadi inspirasi untuk menyambut kebangkitan setelah
terjadinya perpecahan hebat.
Muncul perbedaan antara tasawuf dan filsafat.
Pada awal pembagian ilmu-ilmu keislaman, keduanya dianggap berbeda, dan tokoh
besar sufi seperti Bayazid dan Junaid melihat diri mereka berbeda dari para
filosof. Namun demikian, pada saat yang sama, banyak sufi Persia seperti Hakim
Tirmidzi dan Abul Hasan Kharraqani adalah juga ahli teosofi (hakim), dan para
filosof terkenal seperti al-Farabi dan ibn Sina memiliki kecintaan yang sangat
dalam terhadap tasawuf, dan sebagian dari mereka, seperti al-Farabi, dalam
kenyataannya mempraktikkan kehidupan sufi.
Seandainya pada periode tersebut ada
penentangan terhadap tasawuf, hal ini terjadi hanya terhadap otoritas religius
esoteris tertentu yang berlebihan; tetapi, selalu ada ketegangan antara dimensi
esoteris dan eksoteris agama. Ketegangan ini sampai tingkat tertentu diperbaiki
oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam dunia Sunni, dan oleh sayyid Haidar
Amuli dalam dunia syi’ah. Namun demikian, di kalangan awam penentangan tasawuf
terhadap intelek, seperti yang tampak dalam filsafat, tidak tampak begitu
jelas. Pendangan bahwa tasawuf dan filsfat secara inheren bertentangan satu sama
lain, sesungguhnya disebarkan lebih oleh puisi indah para tokoh besar sufi
semacam Sana’i dan ‘Aththar, daripada oleh risalah-risalah teknis sufi atau
risalah-risalah teks filsafat[4].
Iran
yang saat itu dikuasai para imam Syiah juga mengembangkan falsafah mereka sendiri,
yang melanjutkan tradisi mistik Suhrawardi. Perlu diketahui bahwa para pengikut
tasawuf pada zaman tersebut berusaha menegaskan perbedaan mendasar antara
filsafat Yunani dan filsafat kenabian.
Begitu pula pelecehan filsafat dan “intelek”, sebagaimana tampak dalam
karya Sana’i dan ‘Aththar, tampak pula dalam Matsnawi Rumi, sementara karya ini
sendiri pun merupakan lautan teosofi dan makrifat, dan tidak mungkin
memahaminya tanpa ilmu intelektual filsafat peripatetik umum. Maka
tampillah para ahli teosofi lainnya
seperti Mir Findiriski dan Mir Damad – yang walaupun mereka menempatkan
filsafat kenabian atau filsafat Yamani pada peringkat lebih tinggi ketimbang
filsafat Yunani – tidak menganggap keduanya saling bertentangan[5].
Mir Damad (w. 1631), pendiri falsafah Syiah adalah
seorang ilmuwan sekaligus teolog. Dia mengidentifikasikan Cahaya ilahi dengan
pencerahan figur-figur simbolik semacam Nabi Muhammad Saw. dan para imam.
Seperti Suhrawardi, dia juga menekankan unsur psikologis pengalaman keagamaan.
Namun,
eksponen terkemuka dari mazhab Iran ini adalah murid Mir Damad, Shadr Al-Din
Syirazi, yang biasa dikenal dengan sebutan Mulla Shadra (kl. 1571-1640). Ia
menjadikan filsafat pra-Socrates, pemikiran illuminasi Suhrawardi (1153-1191)
dan pemikiran Ibn Arabi (1165-1240) sebagai sumber pemikirannya.[6]
Seperti
Ibn Al-Arabi, Mulla Shadra membedakan antara esensi Tuhan dan manifestasinya
yang beragam. Pandangannya tidak berbeda dengan hesychast Yunani dan
Kabbalis. Dia memandang seluruh kosmos memancar dari esensi Tuhan untuk
membentuk "satu mutiara" dengan banyak lapisan, yang bisa juga
dikatakan bersesuaian dengan tingkat pengungkapan diri Tuhan melalui
sifat-sifat atau tanda-tandanya(ayat). Lapisan-lapisan itu juga mewakili
tahap-tahap upaya manusia untuk kembali kepada Sumber wujud[7].
Ia
memiliki pandangan hebat mengenai gerak subtansi (al harakah al jauhriyah) yang
membicarakan tentang terjadinya perubahan wujud alam semesta. Berbeda dengan
pandangan filosof sebelumnya yang menganggap spesies sebagai sesuatu yang
tetap, dalam pandangannya justru terjadi perubahan terus menerus, sehingga
sebuah batu dimungkinkan menjadi tanaman, tanaman menjadi hewan dan seterusnya
yang sekarang dikenal sebagai teori evolosionisme. Namun evolosionismenya ini
bukan teori yang materialistik, melainkan merujuk pada perubahan-perubahan
material yang bersifat acak yang terseleksi alam sebagaimana teori Darwin, tapi
merupakan perubahan substantif menuju tingkat wujud yang lebih tinggi karena
tarikan Wujud Tertinggi, Sang Pencipta.[8]
Banyak
Muslim masa sekarang memandangnya sebagai tokoh terbesar di antara semua
pemikir Islam, dan menyebut karyanya sebagai penggabungan metafisika dan
spiritualitas yang telah menjadi ciri filsafat Islam.
Gerakan protes dilancarkan oleh Martin Luther (1483-1546)
di Jerman dan Calvin di kota Jenewa, Zwingl di Swiss, Jerman pada permulaan
abad ke-16. Mereka menuntut perubahan dari sifat dan ajaran-ajaran Katholik
yang berlebih-lebihan, seperti kekuasaan Paus yang tidak terbatas. Ajaran taat
bagi rakyat terhadap para pendeta, yang mesti menerima apa yang dikatakan oleh
mereka; tidak boleh menyoal dan bertanya. Bahkan sebagian gereja Katholik
mengharamkan penganutnya untuk membaca Injil, cukuplah menerima apa yang
dikatakan Pendeta, tanpa perlu berpikir dan menyelidiki lagi.
Gerakan protes yang dilancarkan Luther dan kawan-kawan
mendapat sambutan baik dan pengikut yang banyak sehingga tibullah suatu
golongan baru dalam dunia Kristen, di samping Katholik dan Ortodoks, yaitu:
Protestan.
Berikut ini dilampirkan perbedaan yang nyata antara
Katholik dan Protestan:[9]
- Protestan memberi kebebasan kepada para pengikutnya untuk menyelidiki dan memahamkan Injil walaupun sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan kepercayaan. Sedangkan Katholik melarangnya.
- Roma Katholik mengangga bahwa Paus dan para Pendeta adalah orang-orang suci yang boleh diibadati, karena itu mereka berhak menerima penebusan dosa dari hambanya dengan pembayaran yang disukainya, begitupun pahala dan kebahagiaan di akhirat dapat dibeli dari sang Paus. Sedang Protestan menentangnya.
- Katholik mengorganisir seluruh Gereja-gereja Katholik di dunia dan semua penganutnya uuntuk tunduk kepada seorang Imam (Paus) di Roma, sedang Protestan tidak.
- Katholik melarang para Imam atau Pendeta-pendetany untuk kawin (selibat) sedang Protestan tidak melarang.
- Protestan menolak ajaran Katholik yang menganggap roti dan anggur dalam penjamuan misa suci benar-benar akan menjadi tubuh dan drah Yesus Kristus
- Hak antara orang biasa dan para Imam dalam ‘Perjamuan Suci’ dalam Protestan disamaratakan sedang dalam Katholik dibedakan.
Pendapat
Luther mengenai kehendak manusia juga cukup terkenal. Ia berselisih pendapat perihal
qadariyah[10]
atau free will[11]
dengan Desiderius Erasmus (1466-1536), humanis ternama dari Belanda. Luther
tidak sepenuhnya percaya akan kebebasan manusia berkehendak. Karena pada
dasarnya Tuhan di atas segalanya, dan hanya Dia yang mempunyai kekuatan untuk
bergerak, berkehendak dan menentukan. Pendapat ini berselisih dengan Erasmus
yang percaya akan kebebasan manusia (free will) berkehendak dan
bertindak.
If
in fact we are not free to act, it is useless to talk about practical decision
making, for all our decision must already have been determined. Luther raises
this question in the context of God’s determination of all events, but the
basic issue is the same with or without God. Luther, it is clear, did not
believe in the freedom of the human will. But Erasmus did.[12]
Luther menentang Erasmus yang
menerima kehendak bebas dengan alasan Gereja menuntutnya. Luther mengetengahkan
bahwa manusia memilih sebagaimana ia mengkendaki, tetapi kehendaknya
dikendalikan oleh Allah. Maka dengan demikian sepertinya semua tindakan sudah
ditentukan oleh Allah, walaupun Luther ingin mempertahankan kebebasan dala
hal-hal yang tidak bersangkutan dengan keselamatan.
KESIMPULAN
Dari
uraian singkat di atas, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan di
antaranya;
Kaum
Reformis keagamaaan adalah sekelompok orang yang menjadi pembaharu ajaran
agamanya ketika terjadi kerancuan atau penyimpangan dalam ajaran tersebut.
Seperti apa yang konsep ketuhanan diusung Luriac ketika para Yahudi Spanyol
membutuhkan kekuatan spiritual setelah peristiwa pengusiran Spanyol.
Mulla
Sadra, sebagai salah satu filsuf muslim mengemukakan suatu pemikiran yang
sangat rasionil secara akal, agama maupun sains, yakni pandangannya tentang
gerak substansi (alharakah al jauhariyah) yang berbicara tentang
terjadinya perubahan tingkat wujud alam semesta. Hal ini sekaligus meredakan
pertentangan kuat antara tasawuf dan filsafat umum.
Atau
apa yang diketengahkan Luther dan Calvin dalam pandangan mereka yang menentang
otoritas Gereja Katholik sekaligus mempelopori timbulnya agama baru yang jauh dari
ke-konservatif-an Katholik; Protestan.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen, Sejarah
Tuhan, (Bandung: Mizan, Cet.VI: 2002)
Bagus, Lorens,
Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996)
Hakim, Agus, K.H, Perbandingan
Agama, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2004)
Hamdi,
Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Islam Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern,
(Yogyakarta: LKIS, 2004)
Hubungan
Antara Filsafat dan Tasawuf, Kasus
Kultur Persia, dalam situs http://www.ak-7.net63.net/
Isaac Luria, dalam
situs http//www.wikipedia.com
Isaac
Luriac, Suci Innovator of Kabbalah, dalam situs http://www.learnkabbalah.com
Roth,
John K. dan Frederick Sontag, The Questions of Philosophy, (California:
Wadsworth Publishing Company, 1988)
Soleh,
A. Khudori, M.Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004)
[1]
Isaac Luriac, Suci Innovator of Kabbalah, http://www.learnkabbalah.com
[2]
Isaac Luria, http//wikipedia. com
[3]
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan,(Bandung: Mizan, Cet.VI: 2002) hal: 85
[4]
Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf,
Kasus Kultur Persia, http://ak-7.net63.net/
[5]
Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf,
Kasus Kultur Persia, http://ak-7.net63.net/
[6]
A. Khudori Sholeh, M.Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hal: 160
[7]
Ibid, hal: s344
[8]
A. Khudori Sholeh, hal: 170
[9]
K.H. Agus Hakim, Perbandingan Agama, (Bandung: Penerbit Diponegoro,
2004), hal: 123
[10]
Dari Arab qadar (daya, kekuatan). Istilah ini mengacu pada aliran
peikiran Islam yang menganut kehendak bebas.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996) hal: 922
[11]
The idea of human volition as an independent origin of events, on a par with
those operating in the world of nature; in the other words, the idea that human
actions can make a significant difference in determining the other of things.
John K. Roth dan Frederick Sontag, The Questions of
Philosophy, (California: Wadsworth Publishing Company, 1988) hal: 208
[12]
Ibid, hal: 175-176
No comments:
Post a Comment