Oleh: Hasna S. Rasyidah, Asma
Khoirunnisa, Tias Nurul F dan Firdausi Nuzula
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk
sosial, setiap manusia ditakdirkan untuk hidup bersama manusia yang lainnya. Mereka
hidup bermasyarakat; saling membantu dalam kesulitan, saling menghormati hak
asasi masing-masing, juga saling bertoleransi. Di samping itu, sebagai makhluk
yang beragama, manusia akan senantiasa memenuhi konsekwensinya terhadap
kepercayaan yang ia anut. Kedua status inilah; sebagai makhluk sosial dan
beragama sekaligus, yang akhirnya memungkinkan terjadinya kemiringan dan
pembelotan aqidah. Seseorang berusaha tetap beribadah sesuai kepercayaannya,
tapi sekaligus ia bertoleransi terhadap kepercayaan lain, sehingga akhirnya
sedikit demi sedikit kepercayaan itu luntur dan menyatu dengan apa yang
tersebut dalam norma bermasyarakat sebagai kerukunan, kedamaian, ketidakbertentangan
dan beberapa istilah lain yang ‘amat sosial’. Hal-hal semacam inilah yang
dimaksud sebagai sinkretisasi, yang penjelasannya akan dikemukakan berikut ini.
PENGERTIAN
Secara
etimologis, sinkretisme berasal dari kata
syin dan
kretiozein
atau
kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling
bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan
teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal yang agak berbeda dan
bertentangan. Adapun seorang tokoh Aliran Kepercayaan, Simuh, menambahkan bahwa
sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak
mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karena itu, mereka berusaha
memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda
antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran, sekte,
dan bahkan agama.
Dalam
pengertian yang lain yang serupa, sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian
pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktek berbagai
aliran berpikir. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan
melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam
teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan
pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.
Istilah
sinkretisme dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut "Mencampuradukkan
agama-agama ini disebut sinkretisme".
Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa
Syncretistic berarti
‘tending
to reconcile different beliefs, as philosophy and religion’.
Dari beberapa
kutipan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Sinkretisme dalam agama adalah usaha
penyatuan dan pencampuradukkan berbagai-bagai faham agama dengan kecenderungan
untuk mendamaikan faham-faham itu.
PEMBAHASAN
Sinkretisme
berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang
signifikan antara beberapa paham yang berlainan. Paham di sini bisa berupa
aliran, kepercayaan, bahkan agama. Secara gamblang bisa dikatakan bahwa paham
ini adalah usaha pluralisme agama. Sebut saja begini, agama-agama yang
berlainan di Indonesia ini; Hindu Budha, Kristen, Katolik dan Islam
bertentangan ajarannya, kemudian dicarilah dari masing-masing agama perbedaan
yang mencolok yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketidaktoleran, dari
situlah perbedaan itu akan dilebur dan disatukan kembali menjadi sesuatu yang
satu dan utuh, ‘Semua Agama Benar’.
Jika paham ini
diterapkan sebagai sarana bertoleransi antar umat beragama, maka yang terjadi
selanjutnya adalah terbentuknya masyarakat yang harmonis karena terwujudya
keserasian dan toleransi antar mereka. Namun satu hal lain yang jauh lebih
penting dipertimbangkan daripada ‘sekedar’ kerukunan adalah tergadaikannya iman
dan konsekwensi kita sebagai muslim terhadap Allah SWT dan Muhammad SAW beserta
ajaran-ajarannya.
Sesungguhnya
agama Islam dengan aqidah, syariah dan tuntunannya yang termaktub dalam al
Qur’an dan hadith adalah keseluruhan yang sempurna dan tidak membutuhkan
reduksi, revisi, maupun tambahan dari agama lainnya. Karena itu seorang muslim
haruslah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya pedoman. Firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku
dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.”
Ia juga berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأَمْرِ
فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
“Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu. Maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”
Jelaslah
dari ayat tersebut, bahwa syariat Islam adalah suatu perkara yang tauqifiyah,
artinya berasal dari Allah SWT. Dengan kata lain, segala hukum; halal, haram,
mubah, makruh dan seterusnya adalah hak Allah untuk menentukan dan
menetapkannya.
Sinkretisme, jika diterapkan oleh
umat berlainan agama (Yahudi, Nasrani dan Islam), maka ia akan akan mengerucut
pada suatu titik bernama ‘Teologi Pluralis’. Adapun jika diterapkan dalam suatu
tradisi Jawa yang agama aslinya adalah Islam, maka akan tercipta aliran Islam
yang tidak lagi murni dan biasa dikenal sebagai ‘Islam Kejawen’.
1.
Teologi
Pluralis
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan dalam kitab-Nya bahwa Yahudi dan Nashrani
tengah bekerja keras utk menyesatkan kaum muslimin dari keislaman dan
mengembalikan mereka kepada kekufuran serta mengajak kaum muslimin utk menjadi
Yahudi atau Nashrani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا
حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sebagian besar
ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekufuran
setelah kamu beriman karena dengki yang dari diri mereka sendiri setelah nyata
bagi mereka kebenaran. maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Mereka
juga berusaha menipu muslim seolah yang ditipu adalah orang-orang bodoh. Slogan
mereka yaitu bahwa agama-agama seperti Yahudi Nashrani dan Islam ibarat
keberadaan empat madzhab fiqih di tengah-tengah kaum muslimin, semua jalan pada
hakekat menuju Allah. Slogan ini ternyata disambut baik oleh kelompok wihdatul
wujud Al-Ittihadiyyah Al-Hululiyyah.
Pada
pertengahan pertama abad empat belas hijriyah mulailah seruan penyatuan agama
itu dikumandangkan setelah sekian lama mengakar di dada para penyokong yang
menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kesesatan. Lahirlah
gerakan sebuah organisasi yang disebut dengan Freemasonry yakni sebuah
organisasi Yahudi yang mengusung slogan Liberty Egality dan Fraternity
dan mempropagandakan persaudaraan universal tanpa memandang etnis bangsa dan
agama. Organisasi itu muncul di bawah ‘baju’ seruan penyatuan tiga agama
mengikis belenggu ‘fanatik’ dengan menyamakan keimanan kepada Allah maka semua adalah
mukmin. Tercatat sebagai orang yang ikut terlibat menyebarkan seruan ini adalah
Jamaluddin bin Shafdar Al-Afghani pada tahun 1314 H di Turki dan juga diikuti
oleh murid yang sangat gigih di dalam menyuarakan seruan ini yaitu Muhammad ‘Abduh
bin Hasan At-Turkumani pada tahun 1323 H di Iskandariyah.
Berbentuk
apapun sampul yang mereka gunakan untuk menutup, tapi tetap saja inti dari
semua tindakan mereka adalah usaha pemurtadan ummat Islam.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ
يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ
حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَْالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Mereka tidak
henti-henti memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agamamu
seandai mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agama lalu
dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang sia-sia amalan di dunia dan di
akhirat dan mereka itulah penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.”
2.
Islam
Kejawen
Salah
satu sifat dari masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Pada
masa awal kedatangan Islam di Kepulauan Nusantara khususnya di Jawa, masyarakat
telah menganut dan memiliki berbagai kepercayaan dan agama seperti animisme,
dinamisme, Hindu, dan Budha. Pada masa itu kepercayan dan agama tersebut telah
melekat dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Namun, di samping itu dapat diketahui dalam keberagamaan rata-rata masyarakat
Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan ajaran agamanya. Karena kurangnya keseriusan dalam memahami dan
mengamalkan agamanya, berakibat pada beberapa hal, yang antara lain mudahnya
mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual, dan tradisi dari
agama lain, terutama tradisi asli pra Hindu-Budha yang dianggap sesuai dengan
alur pemikiran mereka, itulah salah satu dari beberapa penyebab adanya
sinkretisme agama di Jawa.
Selanjutnya, ketika Islam mulai
memasuki Nusantara, mereka yang mendapatkan hidayah segera memeluk agama Islam
walau belum bisa dibilang sempurna karena kuatnya pengaruh Hindu, animisme dan kepercayaan
lain.
Disebutkan
dalam sejarah, Sunan Sembilan atau yang lebih dikenal sebagai Wali Sanga
memasukkan ajaran-ajaran Islam melalui kebudayaan Jawa yang diadopsi dari
Hindu, seperti misalnya; wayang, gamelan dan lainnya. Usaha ini tidak bisa
disalahkan karena memang kondisi waktu itu yang sulit untuk menerima Islam
sebagai agama yang rasionil dan dapat diterima oleh akal dan hati sekaligus.
Namun pada akhirnya seiring perkembangan jaman, tradisi tersebut tetap
berlanjut namun nilai-nilai Islaminya sudah luntur.
Seperti
inilah yang akhirnya bertahan di era modern. Bertradisi kejawen, dengan dalih
tetap beragama Islam dan mengaku muslim, tapi bahkan syari’at Islam dilanggar
dan diacuhkan. Islamnya hanya sebatas KTP, karena pada nyatanya ritual sesajen,
mempercayai takhayul, orang pintar, berpuasa putih, bersemedi, menerapkan
ramalan (dalam istilah Jawa sering disebut primbon), tetap berjalan
dengan terkadang melalaikan shalat dan berberat hati puasa Ramadhan.
Pada
kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama apapun tidak
lepas untuk mempercayai keyakinan di luar ajaran agama yang dianutnya.
Kepercayaan itu timbul seiring dengan kejaian yang dialami seseorang. Karena
ketidakmampuannya menyelesaikan masalah, maka ia mencari jalan keluar yang
mungkin dapat menolong, walaupun jalan itu tidak memiliki dasar di dalam agama
yang dipeluknya. Keyakinan itu akhirnya diadopsi ke dalam agama yang
dipeluknya. Maka terjadilah agama yang sinkretis, sebagaimana yang terjadi pada
masyarakat muslim awam khususnya di Jawa.
Tapi
masalahnya, tidak bisa disalahkan juga terjadinya pecampuran semacam itu oleh
masyarakat awam, karena pada dasarnya undang-undang yang berlaku di Indonesia memperbolehkan
warganya untuk memeluk satu agama tapi sekaligus menganut beragam aliran. Dalam
UUD ’45 pasal 29, ayat 2 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Berikut
ini contoh untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah
sinkretisme:
Bagi
masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah
saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka
mengadakan upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri),
prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam
datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal
ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan,
seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen
padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam
datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan
unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan
dan budaya Jawa).
Upacara
Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari
menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga
pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua
calon pengantin dari mara bahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan
hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini
diisi dengan pembacaam Barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil.
Dengan
munculnya sinkretisasi terutama sinkretisasi Islam di Jawa ini, paling tidak muncul
beberapa reaksi:
a.
Golongan yang
taat
Adalah
yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap
hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya
berbau takhayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini,
al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara
ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi
mereka, ritual dan kepercayaan yang tidak diajarkan di dalam keduanya tidak
perlu, dan bahkan haram dikerjakan.
b.
Golongan yang
moderat
Orang-orang
yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai
atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh
karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah kadung mbalung
sungsum, terlanjur menyatu, dengan tradisi dan adat istiadat lama, tidak
boleh digunakan cara-cara radikal yang justru akan menjauhkan para mubaligh
dari objek dakwah. Upacara slametan yang berkaitan dengan siklus kehidupan yang
tidak ada tuntunannya di dalam al-quran dan as-sunnah tidak dilarang, tetapi
dibiarkannya tetap berlangsung dengan dimodifikasi dan memasukkan unsur-unsur
Islam ke dalamnya.
c.
Golongan yang
bersinkretis keseluruhan
Yang
menerima pemikiran ini, pertama, adalah mereka yang mengikuti langkah Empu
Tantular dalam menghadapi perbedaan ajaran agama yang satu dengan yang lain.
Keyakinan mereka menyebutkan bahwa semua agama beresensi sama, mereka
beranggapan bahwa tidak ada salahnya apabila pemeluk salah satu agama mengambil
tata cara ritual dan kepercayaan agama lain dalam rangka mendekatkan diri
kepada Tuhannya. Mereka kurang mendalami
pengetahuannya tentang Islam, sehingga tidak dapat membedakan antara ajaran
agama Islam yang sebenarnya dengan tradisi lokal yang sudah bercampur menjadi
satu sehingga sulit dipilah-pilahkan antara keduanya.
PENUTUP
Usaha penyatuan agama maupun aliran
atau yang lebih akrab disebut dengan sinkretisme dengan dalih mendamaikan antar
umat beragama, menghilangkan kesenjangan, bertoleransi, meniadakan peperangan
hingga meleburkan kepercayaan satu dengan yang lain adalah paham yang batil.
Paham tersebut sama saja dengan istilah ‘pluralisme agama’ atau ‘teologi
pluralis’ yang diserukan Yahudi untuk menghancurleburkan Islam dan memurtadkan
pemeluknya. Yang akibatnya, aqidah Islamiyah tergadaikan, digantikan sesuatu
yang bersifat omong kosong.
Dalam
masyarakat Jawa, penerapan sinkretisme berupa penyatuan aliran kebatinan,
tradisi Jawa, dan Islam itu sendiri sehingga kerap kali ajaran Islam yang kalah
karena keawaman masyarakat Jawa memahami Islam sekaligus kefanatikan mereka
terhadap tradisi yang diajarkan nenek moyang. Akhirnya, Islam sunni, atau yang
berdasarkan pada sunnah wa - l- jama’ah digantikan oleh apa yang dikenal
sebagai Islam Kejawen.
Dari
situlah akhirnya tumbuh beberapa golongan yang bereaksi terhadap sinkretisasi
Islam di Jawa; Golongan yang taat, yang tidak mau sama sekali memasukkan nilai
tradisi non-Islami apapun ke dalam kemurnian agamanya. Golongan yang moderat,
yakni yang mau bertoleransi terhadap tradisi Jawa dan memanfaatkannya sebagai
sarana da’wah. Yang terakhir, Golongan awam yang menerima tradisi Jawa
sepenuhnya tanpa memedulikan bahayanya terhadap statusnya sebagai muslim.