Sunday, May 13, 2012

POTRET PEREMPUAN IDEAL; Antara Fakta dan Cita




Sang perempuan naik ke atas lift, melirik ke bawah berharap laki-laki berjas itu berkenan meliriknya. Tapi tidak, kulitnya terlalu gelap untuk menarik perhatian. Ia tidak cukup cantik untuk mendapat lirikan sang laki-laki yang ditampilkan dengan citra laki-laki sukses, karir dan uang di tangan. Kulitnya yang gelap menjerumuskannya ke dalam kategori perempuan yang tidak diinginkan.
Adegan berikutnya, sang perempuan mengoleskan krim pemutih yang menjanjikannya kulit putih bersih. Seperti sulap, dalam 7 minggu -katanya- kulit menjadi putih, dan seperti genre cerita roman, sang laki-laki sukses kemudian meliriknya, dan usahanya untuk menjadi cantik (baca:putih) pun terbayar.

Ini hanya sebabak iklan (baca; Pond’s Whitening Beauty) dari beratus-ratus babak iklan lain yang menyumbangkan gambaran sejenis. Perempuan bukan saja diposisikan sebagai bahan pameran, namun juga sasaran yang harus kena tembak. Bukan saja sebagai tokoh iklan, namun juga sebagai konsumen. Seperti yang biasa anda dapati dalam wacana yang lain:
-        Pemilihan Putri Indonesia, Miss Universe dan kontes kecantikan serupa yang memberikan potret ideal perempuan; harus cantik, berbadan bagus, dan berwawasan luas (namun seringkali kriteria ‘wawasan luas’ tidak lebih mengundang simpati ketimbang peragaan baju renang, baju pesta, atau rambut indah terawat).
-        Iklan produk kecantikan dan kesehatan yang lagi-lagi menetapkan standar perempuan ideal secara fisik, mengesampingkan inner beauty. “Toh inner beauty tidak bisa dijual.”, barangkali begitu para pekerja iklan mengklaim.
-        Bahkan iklan yang sama sekali tidak nyambung dengan kepentingan keperempuanan (baca: cantik, langsing, putih) ikut-ikutan memakai jasa tubuh perempuan agar produknya laris. Sebut saja iklan pompa air Maspion, permen Kiss, dan beberapa iklan lain, yang semakin kreatif memanfaatkan jasa perempuan.
-        Indonesian Idol, KDI dan ajang gali bakat lain dalam bidang tarik suara, sekalipun tahun-tahun belakangan memberikan ijin bagi perempuan berjilbab untuk tetap berjilbab, namun syarat berpenampilan chic standar dunia hiburan tetap saja harus terpenuhi. Jadi, bisa dibilang tidak mungkin jika anda yang sehari-hari mengenakan pakaian dan rok panjang, longgar, warna tidak mencolok, tanpa kerlip-kerlip, tidak transparan dan kerudung menutupi dada ikut-ikutan menyanyi dangdut sambil bergoyang. Tidak ada produser yang tertarik!  
-        Dunia perfilman turut menyumbang potret perempuan yang standarnya tidak jauh berbeda dengan yang sudah tergambarkan oleh iklan dan ajang-ajang tadi. Barangkali karena urat malunya sudah putus, berpakaian nyaris telanjangpun aktris-aktris tersebut tidak keberatan, bahkan sebaliknya, mereka bangga karena terkenal, kaya dan dijadikan idola.

Sebagian dari anda, betapapun tidak akan terpengaruh oleh perempuan putih dalam iklan untuk ikut menarik hati laki-laki berjas dengan memamerkan kulit mulus dan kaki putih jenjangnya. Sebagian yang lain mengomentarinya dengan ungkapan ‘betapa dramatisnya iklan’, memilih untuk tidak percaya lalu bertingkah seolah iklan itu tidak layak dicerna. Apalagi menanggapi keterbukaan aurat yang lain, anda sudah pasti akan menyangkalnya.
Tapi bagaimana jika masih ada seperangkat kecil dari otak anda yang merekam dengan baik bagian indah yang dipresentasikan oleh perempuan iklan atau film, lantas sebagian dari diri anda turut mengiyakan bahwa ‘menjadi putih (yang disama-artikan dengan cantik) itu penting’? Pengakuan-pengakuan dalam diam inilah yang akhirnya menuntun anda untuk mengunjungi toko terdekat untuk membuktikan janji sepotong iklan, “Siapa tahu nanti wajah saya putih mulus tanpa jerawat dan sehalus porselen. Jilbaber boleh tampil cantik juga, kan?” ungkap anda.

Perempuan Ideal = Mar’ah Sholihah
            Ketika semua perempuan mengingingkan untuk menjadi cantik, sudah seharusnya paradigma cantik menurut seorang muslimah berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh dunia entertaiment dan media massa pada umumnya. Cantik secara fisik tidak mungkin dapat dipertahankan sepanjang masa. Saya berani mempertaruhkan, nanti 30 tahun lagi, Agnes Monica, Dian Sastrowardoyo dan sederet aktris lainnya tidak akan berani lagi mengenakan rok mini, atau gaun tanpa lengan karena kulitnya sudah kusam berkeriput dan lemak menggelambir di mana-mana. Maka, inner beauty, lagi-lagi harus ditempatkan sebagai ukuran cantik yang semestinya. -na-

No comments:

Post a Comment