Sunday, May 13, 2012

Tuhan bagi Para Reformis



Oleh : Hasna S. Rasyidah, Asma Khoirunnisa dan Alfi Mawaddatur Rahmah

PENDAHULUAN
Abad 14 dan 15 merupakan masa yang paling menentukan bagi seluruh umat beragama. Masa penuh penemuan namun sekaligus masa kegelisahan bagi umat beragama. Di mana revolusi industri serta beragam penemuan berharga lainnya merajai Barat. Masa revolusi juga menimbulkan pembaharuan pemikiran keagamaan. Beberapa agamawan memberikan gagasan yang amat berpengaruh dan membawa angin segar bagi masyarakat karena sebelumnya mereka dicekoki oleh sains tanpa agama yang digagas oleh filosof masa pencerahan. Kesadaran bertuhan kembali tumbuh, barangkali karena mereka merasakan adanya kekosongan spiritual yang menyebabkan rasa tidak puas akan hasil yang mereka capai di bidang sains.
Baik Yahudi, Katolik maupun Islam masing-masing memiliki agamawan yang sekaligus merupakan reformis. Maka dari sisi itulah penulis akan memaparkan beberapa pemikiran para reformis dan gerakan-gerakan mereka dalam rangka menuai perbaikan di bidang keagamaan, tentunya.

PEMBAHASAN
Masyarakat Barat mulai menaruh perhatian kepada iman dan ketuhanan melebihi tahun-tahun sebelumnya. Sebab, orang awam tidak terlalu puas tidak dengan konsep ketuhanan mereka selama ini. Maka para Reformis menyuarakan kegelisahan mereka. Ini terlihat ketika kaum Reformis, atau kaum pembaharu keagamawan menyeru penganutnya untuk meninggalkan kesetiaaan lahiriah kepada orang suci juga malaikat dan lebih memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Maka mulai saat itu terpecahlah Eropa menjadi dua kubu keagamaan, Katolik dan Protestan, yang sampai sekarang pun tidak lepas dari saling kecurigaan dan kebencian.  
            Begitu pula yang dialami oleh kaum Yahudi. Keterusiran mereka dari Spanyol yang ketika itu dikuasai oleh Ferdinand dan Isabella pada Januari 1952,  menyisakan rasa ketertolakan yang menancap kuat di dasar sanubari mereka. Peristiwa itu disesali oleh seluruh Yahudi di dunia. Karena pengusiran lebih dari 150.000 orang Yahudi Spanyol itu merupakan pengusiran terbesar kedua setelah peristiwa penghancuran kuil mereka pada 70 M. Tetapi pengalaman tragis ini merupakan cikal bakal bagi perkembangan konsepsi baru ketuhanan mereka dan pertumbuhan Kabbalah. Para pengungsi Spanyol itu perlu menyesuaikan visinya agar bisa menyuarakan kondisi kejiwaan khas mereka. Mereka membutuhkan energi spiritual yang dapat mendukung mereka. Tetapi mereka menemukan solusi imajinatif luar biasa yang menyamakan keterusiran mutlak dengan Ketuhanan mutlak dalam konsepsi ketuhanan yang dibawa Isaac Luriac (1534-1572).
Kebanyakan mistikus Yahudi enggan untuk membicarakan pengalaman mereka tentang Tuhan. Berbeda dengan Isaac Luriac, pahlawan dan orang suci Kabbalisme Safed, yang mencoba menjelaskan paradoks transendensi dan imanensi ilahi secara lebih lengkap dengan salah satu ide paling mencengangkan yang pernah diformulasikan tentang Tuhan. Ia yang juga disebut Ari, atau Lion Kudus (nama adalah singkatan untuk Isaac Rabi Elohi, atau Isaac Rabi Godly, beberapa sumber mengakatakan bahwa ia adalah keturunan dari Ashkenazic, meskipun ia juga sering dikaitkan dengan buangan Spanyol)[1] mengangkat pertanyan-pertanyaan yang mengusik kaum monoteis;  bagaimana mungkin Tuhan yang sempurna dan tak terbatas telah menciptakan sebuah dunia yang terbatas dan sarat dengan kejahatan? Dari mana kejahatan itu berasal? Luria menemukan jawabannya dengan cara membayangkan apa yang terjadi sebelum emanasi sefiroth, ketika En Sof telah mengalihkan dirinya sendiri ke dalam introspeksi yang sublim. Demi menyediakan ruang bagi dunia, demikian Luria menduga, En Sof, seolah-olah, mengosongkan sebuah kawasan di dalam dirinya sendiri. Dalam tindakan "pengerutan" atau "penarikan diri" (tsimtsum) ini, Tuhan telah menciptakan sebuah tempat yang dia tidak berada di dalamnya, sebuah ruang kosong yang dapat diisinya melalui proses pewahyuan diri dan penciptaan yang terjadi secara serempak. Ini merupakan upaya yang sangat berani dalam mengilustrasikan doktrin penciptaan ex nihilo yang sulit: tindakan paling awal dari En Sof adalah "pengucilan sebagian dirinya atas kehendaknya sendiri" . tsimtsum pada dasarnya merupakan simbol keterusiran, yang mendasari struktur seluruh eksistensi tercipta dan telah dialami oleh En Sof sendiri. "Ruang kosong" yang diciptakan oleh penarikan diri Tuhan dikonsepsikan sebagai sebuah lingkaran yang dikelilingi oleh En Sof di semua sisinya. Ini adalah sebuah ide yang tidak berbeda dengan kenosis primordial yang pernah dibayangkan oleh orang Kristen di dalam Trinitas, yakni ketika Tuhan mengosongkan diri ke dalam Putranya melalui tindakan ekspresi diri.
Kabbalah, 10 Sephirot dalam bagan Kabbalah[2]


            Selama abad kelima belas dan keenam belas berdiri tiga kekaisaran baru Islam: kekaisaran Turki Usmani di Asia Kecil dan Eropa Timur, kekaisaran Shafawi di Iran, dan kekaisaran Moghul di India[3]. Ini membuktikan bahwa umat Islam masih memegang kekuatan terpenting di dunia. Mereka masih menjadi inspirasi untuk menyambut kebangkitan setelah terjadinya  perpecahan hebat.
 Muncul perbedaan antara tasawuf dan filsafat. Pada awal pembagian ilmu-ilmu keislaman, keduanya dianggap berbeda, dan tokoh besar sufi seperti Bayazid dan Junaid melihat diri mereka berbeda dari para filosof. Namun demikian, pada saat yang sama, banyak sufi Persia seperti Hakim Tirmidzi dan Abul Hasan Kharraqani adalah juga ahli teosofi (hakim), dan para filosof terkenal seperti al-Farabi dan ibn Sina memiliki kecintaan yang sangat dalam terhadap tasawuf, dan sebagian dari mereka, seperti al-Farabi, dalam kenyataannya mempraktikkan kehidupan sufi.
Seandainya pada periode tersebut ada penentangan terhadap tasawuf, hal ini terjadi hanya terhadap otoritas religius esoteris tertentu yang berlebihan; tetapi, selalu ada ketegangan antara dimensi esoteris dan eksoteris agama. Ketegangan ini sampai tingkat tertentu diperbaiki oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam dunia Sunni, dan oleh sayyid Haidar Amuli dalam dunia syi’ah. Namun demikian, di kalangan awam penentangan tasawuf terhadap intelek, seperti yang tampak dalam filsafat, tidak tampak begitu jelas. Pendangan bahwa tasawuf dan filsfat secara inheren bertentangan satu sama lain, sesungguhnya disebarkan lebih oleh puisi indah para tokoh besar sufi semacam Sana’i dan ‘Aththar, daripada oleh risalah-risalah teknis sufi atau risalah-risalah teks filsafat[4].
Iran yang saat itu dikuasai para imam Syiah  juga mengembangkan falsafah mereka sendiri, yang melanjutkan tradisi mistik Suhrawardi. Perlu diketahui bahwa para pengikut tasawuf pada zaman tersebut berusaha menegaskan perbedaan mendasar antara filsafat Yunani dan filsafat kenabian.  Begitu pula pelecehan filsafat dan “intelek”, sebagaimana tampak dalam karya Sana’i dan ‘Aththar, tampak pula dalam Matsnawi Rumi, sementara karya ini sendiri pun merupakan lautan teosofi dan makrifat, dan tidak mungkin memahaminya tanpa ilmu intelektual filsafat peripatetik umum. Maka tampillah  para ahli teosofi lainnya seperti Mir Findiriski dan Mir Damad – yang walaupun mereka menempatkan filsafat kenabian atau filsafat Yamani pada peringkat lebih tinggi ketimbang filsafat Yunani – tidak menganggap keduanya saling bertentangan[5].
 Mir Damad (w. 1631), pendiri falsafah Syiah adalah seorang ilmuwan sekaligus teolog. Dia mengidentifikasikan Cahaya ilahi dengan pencerahan figur-figur simbolik semacam Nabi Muhammad Saw. dan para imam. Seperti Suhrawardi, dia juga menekankan unsur psikologis pengalaman keagamaan.
Namun, eksponen terkemuka dari mazhab Iran ini adalah murid Mir Damad, Shadr Al-Din Syirazi, yang biasa dikenal dengan sebutan Mulla Shadra (kl. 1571-1640). Ia menjadikan filsafat pra-Socrates, pemikiran illuminasi Suhrawardi (1153-1191) dan pemikiran Ibn Arabi (1165-1240) sebagai sumber pemikirannya.[6]
Seperti Ibn Al-Arabi, Mulla Shadra membedakan antara esensi Tuhan dan manifestasinya yang beragam. Pandangannya tidak berbeda dengan hesychast Yunani dan Kabbalis. Dia memandang seluruh kosmos memancar dari esensi Tuhan untuk membentuk "satu mutiara" dengan banyak lapisan, yang bisa juga dikatakan bersesuaian dengan tingkat pengungkapan diri Tuhan melalui sifat-sifat atau tanda-tandanya(ayat). Lapisan-lapisan itu juga mewakili tahap-tahap upaya manusia untuk kembali kepada Sumber wujud[7].
Ia memiliki pandangan hebat mengenai gerak subtansi (al harakah al jauhriyah) yang membicarakan tentang terjadinya perubahan wujud alam semesta. Berbeda dengan pandangan filosof sebelumnya yang menganggap spesies sebagai sesuatu yang tetap, dalam pandangannya justru terjadi perubahan terus menerus, sehingga sebuah batu dimungkinkan menjadi tanaman, tanaman menjadi hewan dan seterusnya yang sekarang dikenal sebagai teori evolosionisme. Namun evolosionismenya ini bukan teori yang materialistik, melainkan merujuk pada perubahan-perubahan material yang bersifat acak yang terseleksi alam sebagaimana teori Darwin, tapi merupakan perubahan substantif menuju tingkat wujud yang lebih tinggi karena tarikan Wujud Tertinggi, Sang Pencipta.[8]
Banyak Muslim masa sekarang memandangnya sebagai tokoh terbesar di antara semua pemikir Islam, dan menyebut karyanya sebagai penggabungan metafisika dan spiritualitas yang telah menjadi ciri filsafat Islam.
            Gerakan protes dilancarkan oleh Martin Luther (1483-1546) di Jerman dan Calvin di kota Jenewa, Zwingl di Swiss, Jerman pada permulaan abad ke-16. Mereka menuntut perubahan dari sifat dan ajaran-ajaran Katholik yang berlebih-lebihan, seperti kekuasaan Paus yang tidak terbatas. Ajaran taat bagi rakyat terhadap para pendeta, yang mesti menerima apa yang dikatakan oleh mereka; tidak boleh menyoal dan bertanya. Bahkan sebagian gereja Katholik mengharamkan penganutnya untuk membaca Injil, cukuplah menerima apa yang dikatakan Pendeta, tanpa perlu berpikir dan menyelidiki lagi.
            Gerakan protes yang dilancarkan Luther dan kawan-kawan mendapat sambutan baik dan pengikut yang banyak sehingga tibullah suatu golongan baru dalam dunia Kristen, di samping Katholik dan Ortodoks, yaitu: Protestan.
            Berikut ini dilampirkan perbedaan yang nyata antara Katholik dan Protestan:[9]
  1. Protestan memberi kebebasan kepada para pengikutnya untuk menyelidiki dan memahamkan Injil walaupun sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan kepercayaan. Sedangkan Katholik melarangnya.
  2. Roma Katholik mengangga bahwa Paus dan para Pendeta adalah orang-orang suci yang boleh diibadati, karena itu mereka berhak menerima penebusan dosa dari hambanya dengan pembayaran yang disukainya, begitupun pahala dan kebahagiaan di akhirat dapat dibeli dari sang Paus. Sedang Protestan menentangnya.
  3. Katholik mengorganisir seluruh Gereja-gereja Katholik di dunia dan semua penganutnya uuntuk tunduk kepada seorang Imam (Paus) di Roma, sedang Protestan tidak.
  4. Katholik melarang para Imam atau Pendeta-pendetany untuk kawin (selibat) sedang Protestan tidak melarang.
  5. Protestan menolak ajaran Katholik yang menganggap roti dan anggur dalam penjamuan misa suci benar-benar akan menjadi tubuh dan drah Yesus Kristus
  6. Hak antara orang biasa dan para Imam dalam ‘Perjamuan Suci’ dalam Protestan disamaratakan sedang dalam Katholik dibedakan.
Pendapat Luther mengenai kehendak manusia juga cukup terkenal. Ia berselisih pendapat perihal qadariyah[10] atau free will[11] dengan Desiderius Erasmus (1466-1536), humanis ternama dari Belanda. Luther tidak sepenuhnya percaya akan kebebasan manusia berkehendak. Karena pada dasarnya Tuhan di atas segalanya, dan hanya Dia yang mempunyai kekuatan untuk bergerak, berkehendak dan menentukan. Pendapat ini berselisih dengan Erasmus yang percaya akan kebebasan manusia (free will) berkehendak dan bertindak.
If in fact we are not free to act, it is useless to talk about practical decision making, for all our decision must already have been determined. Luther raises this question in the context of God’s determination of all events, but the basic issue is the same with or without God. Luther, it is clear, did not believe in the freedom of the human will. But Erasmus did.[12]
               Luther menentang Erasmus yang menerima kehendak bebas dengan alasan Gereja menuntutnya. Luther mengetengahkan bahwa manusia memilih sebagaimana ia mengkendaki, tetapi kehendaknya dikendalikan oleh Allah. Maka dengan demikian sepertinya semua tindakan sudah ditentukan oleh Allah, walaupun Luther ingin mempertahankan kebebasan dala hal-hal yang tidak bersangkutan dengan keselamatan.

KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan di antaranya;
Kaum Reformis keagamaaan adalah sekelompok orang yang menjadi pembaharu ajaran agamanya ketika terjadi kerancuan atau penyimpangan dalam ajaran tersebut. Seperti apa yang konsep ketuhanan diusung Luriac ketika para Yahudi Spanyol membutuhkan kekuatan spiritual setelah peristiwa pengusiran Spanyol.
Mulla Sadra, sebagai salah satu filsuf muslim mengemukakan suatu pemikiran yang sangat rasionil secara akal, agama maupun sains, yakni pandangannya tentang gerak substansi (alharakah al jauhariyah) yang berbicara tentang terjadinya perubahan tingkat wujud alam semesta. Hal ini sekaligus meredakan pertentangan kuat antara tasawuf dan filsafat umum.
Atau apa yang diketengahkan Luther dan Calvin dalam pandangan mereka yang menentang otoritas Gereja Katholik sekaligus mempelopori timbulnya agama baru yang jauh dari ke-konservatif-an Katholik; Protestan.


DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, Cet.VI: 2002)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996)
Hakim, Agus, K.H, Perbandingan Agama, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2004)
Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Islam Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern, (Yogyakarta: LKIS, 2004)
Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf,  Kasus Kultur Persia, dalam situs  http://www.ak-7.net63.net/
Isaac Luria, dalam situs  http//www.wikipedia.com
Isaac Luriac, Suci Innovator of Kabbalah, dalam situs http://www.learnkabbalah.com
Roth, John K. dan Frederick Sontag, The Questions of Philosophy, (California: Wadsworth Publishing Company, 1988)
Soleh, A. Khudori, M.Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004)





[1] Isaac Luriac, Suci Innovator of Kabbalah, http://www.learnkabbalah.com
[2] Isaac Luria,  http//wikipedia. com
[3] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan,(Bandung: Mizan, Cet.VI: 2002) hal: 85
[4] Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf,  Kasus Kultur Persia,  http://ak-7.net63.net/
[5] Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf,  Kasus Kultur Persia,  http://ak-7.net63.net/
[6] A. Khudori Sholeh, M.Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal: 160
[7] Ibid, hal: s344
[8] A. Khudori Sholeh, hal: 170
[9] K.H. Agus Hakim, Perbandingan Agama, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2004), hal: 123
[10] Dari Arab qadar (daya, kekuatan). Istilah ini mengacu pada aliran peikiran Islam yang menganut kehendak bebas.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) hal: 922
[11] The idea of human volition as an independent origin of events, on a par with those operating in the world of nature; in the other words, the idea that human actions can make a significant difference in determining the other of things.
John K. Roth dan Frederick Sontag, The Questions of Philosophy, (California: Wadsworth Publishing Company, 1988) hal: 208
[12] Ibid, hal: 175-176

No comments:

Post a Comment