Sunday, May 13, 2012

Kota Utama (al-Madinah al-Fadhilah)




             Pada telaahnya yang lebih khusus tentang kota ini, al-Farabi memformulasikan gagasan kota idealnya dengan bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan. Penjelasan awal bab khusus tentang al-madinah al-fadilah-nya dalam kitabnya As-Siyasah al-Madaniyah cukup memberikan ketegasan perihal hal ini, bahwa manusia hidup memerlukan seorang guide (pemimpin, mualim) untuk menemukan kebahagiaan mereka. Dengan begitu, kerangka dasar yang membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat dari konsep kepemimpinan, di mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang sedemikian rupa harus mucul seorang pemimpin yang memiliki keutamaan penuh. Yamani menyebut pemimpin macam ini sebagai pemimpin tertinggi atau unqualified ruler, penguasa tanpa kualifikasi. Yang kemudian dari konsep ini (kepemimpinan) al-Farabi melilitkan konsep kebahagiaan padanya. Bahwa tujuan manusia menjalani hidupnya adalah untuk meraih kebahagiaan.
Dan untuk menghidupkan dua konsep utama ini, al-Farabi memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana misalnya kecenderungan manusia. Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan lain berupa keterikatan mereka dalam sebuah komunitas, seperti yang dikatakan Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon Politikon, secara alamiah mereka tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan oleh karena itu mereka terus berpolitik untuk bertahan hidup. Agar komunitas ini dapat menjadi sebuah komunitas unggul diperlukanlah seorang pemimpin yang memiliki keutamaan.
Mengenai kepemimpinan. Al-Farabi mengkategorikan orang menjadi tiga, pemimpin tertinggi, orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya dipimpin. Dan kota utama dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi. Pemimpin macam itu adalah orang yang sempurna secara fisik dan mentalnya. Dalam konsep Sunni derajat pemimpin semacam ini hanya dapat dimiliki oleh seseorang dengan tingkatan Nabi. Meski dalam sejarahnya, kehidupan politik para Nabi pun pada umumnya mengalami sebuah kondisi yang dapat dikatakan dilematis, bahkan hampir semuanya tidak pernah berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal dan dengan kecenderungan memiliki umat yang durhaka. Sampai pada Nabi terakhir, Muhammad SAW, konsep kepemimpinan itu seperti baru menemukan bentuknya. Dengan keberhasilan Muhammad SAW menyatukan masyarakat Arab, agaknya dapat disebut bahwa apa yang Muhammad SAW bentuk adalah sebuah kota utama di bawah kepemimpinannya. Dengan begitu pada dasarnya setiap Nabi memiliki potensi yang sama untuk membangun sebuah kota ideal, dengan kualitas yang mereka miliki. Dan sekali lagi, satu-satunya Nabi yang berhasil mengaktualkan potensi itu adalah Muhammad SAW.
Sedang dalam pandangan Syiah, kualitas pemimpin yang dapat membentuk sebuah kota utama, tidak hanya pada level para Nabi tetapi juga Imam-imam, yang meski dalam sejarah belum terbukti bahwa ada seorang Imam yang dapat membentuk sebuah kota utama. Namun, pada kepercayaan mereka, kota utama itu pada masanya nanti akan dapat dibentuk oleh Imam Mahdi (Muhammad al-Mahdi al-Muntazar, Imam terakhir mereka).

Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama terbentuk, tugas para pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas penduduknya agar tetap pada kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang tercipta pun berjalan harmonis. Dengan begitu dalam sebuah kota utama, spesialisasi penduduknya memang harus ada dan seorang pemimpin harus dapat mengatur ini dengan baik.

Tujuan kota utama adalah kebahagiaan. Baik secara individual maupun komunal, kota utama harus memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Pemimpin dalam kota ini memiliki tugas untuk membimbing dan menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu. (Wenda; dari berbagai sumber)

Sinkretisme Aliran dan Agama


Oleh: Hasna S. Rasyidah, Asma Khoirunnisa, Tias Nurul F dan Firdausi Nuzula

PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia ditakdirkan untuk hidup bersama manusia yang lainnya. Mereka hidup bermasyarakat; saling membantu dalam kesulitan, saling menghormati hak asasi masing-masing, juga saling bertoleransi. Di samping itu, sebagai makhluk yang beragama, manusia akan senantiasa memenuhi konsekwensinya terhadap kepercayaan yang ia anut. Kedua status inilah; sebagai makhluk sosial dan beragama sekaligus, yang akhirnya memungkinkan terjadinya kemiringan dan pembelotan aqidah. Seseorang berusaha tetap beribadah sesuai kepercayaannya, tapi sekaligus ia bertoleransi terhadap kepercayaan lain, sehingga akhirnya sedikit demi sedikit kepercayaan itu luntur dan menyatu dengan apa yang tersebut dalam norma bermasyarakat sebagai kerukunan, kedamaian, ketidakbertentangan dan beberapa istilah lain yang ‘amat sosial’. Hal-hal semacam inilah yang dimaksud sebagai sinkretisasi, yang penjelasannya akan dikemukakan berikut ini.
PENGERTIAN
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal yang agak berbeda dan bertentangan. Adapun seorang tokoh Aliran Kepercayaan, Simuh, menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran, sekte, dan bahkan agama.[1]
Dalam pengertian yang lain yang serupa, sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktek berbagai aliran berpikir. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.[2]
Istilah sinkretisme dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut "Mencampuradukkan agama-agama ini disebut sinkretisme".  Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa Syncretistic berarti ‘tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion’.[3]
Dari beberapa kutipan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Sinkretisme dalam agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai-bagai faham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan faham-faham itu.

PEMBAHASAN
Sinkretisme berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham yang berlainan. Paham di sini bisa berupa aliran, kepercayaan, bahkan agama. Secara gamblang bisa dikatakan bahwa paham ini adalah usaha pluralisme agama. Sebut saja begini, agama-agama yang berlainan di Indonesia ini; Hindu Budha, Kristen, Katolik dan Islam bertentangan ajarannya, kemudian dicarilah dari masing-masing agama perbedaan yang mencolok yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketidaktoleran, dari situlah perbedaan itu akan dilebur dan disatukan kembali menjadi sesuatu yang satu dan utuh, ‘Semua Agama Benar’.
Jika paham ini diterapkan sebagai sarana bertoleransi antar umat beragama, maka yang terjadi selanjutnya adalah terbentuknya masyarakat yang harmonis karena terwujudya keserasian dan toleransi antar mereka. Namun satu hal lain yang jauh lebih penting dipertimbangkan daripada ‘sekedar’ kerukunan adalah tergadaikannya iman dan konsekwensi kita sebagai muslim terhadap Allah SWT dan Muhammad SAW beserta ajaran-ajarannya.
Sesungguhnya agama Islam dengan aqidah, syariah dan tuntunannya yang termaktub dalam al Qur’an dan hadith adalah keseluruhan yang sempurna dan tidak membutuhkan reduksi, revisi, maupun tambahan dari agama lainnya. Karena itu seorang muslim haruslah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya pedoman. Firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.
Ia juga berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Jelaslah dari ayat tersebut, bahwa syariat Islam adalah suatu perkara yang tauqifiyah, artinya berasal dari Allah SWT. Dengan kata lain, segala hukum; halal, haram, mubah, makruh dan seterusnya adalah hak Allah untuk menentukan dan menetapkannya.
            Sinkretisme, jika diterapkan oleh umat berlainan agama (Yahudi, Nasrani dan Islam), maka ia akan akan mengerucut pada suatu titik bernama ‘Teologi Pluralis’. Adapun jika diterapkan dalam suatu tradisi Jawa yang agama aslinya adalah Islam, maka akan tercipta aliran Islam yang tidak lagi murni dan biasa dikenal sebagai ‘Islam Kejawen’.
1.     Teologi Pluralis
            Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan dalam kitab-Nya bahwa Yahudi dan Nashrani tengah bekerja keras utk menyesatkan kaum muslimin dari keislaman dan mengembalikan mereka kepada kekufuran serta mengajak kaum muslimin utk menjadi Yahudi atau Nashrani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekufuran setelah kamu beriman karena dengki yang dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran. maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Mereka juga berusaha menipu muslim seolah yang ditipu adalah orang-orang bodoh. Slogan mereka yaitu bahwa agama-agama seperti Yahudi Nashrani dan Islam ibarat keberadaan empat madzhab fiqih di tengah-tengah kaum muslimin, semua jalan pada hakekat menuju Allah. Slogan ini ternyata disambut baik oleh kelompok wihdatul wujud Al-Ittihadiyyah Al-Hululiyyah.
Pada pertengahan pertama abad empat belas hijriyah mulailah seruan penyatuan agama itu dikumandangkan setelah sekian lama mengakar di dada para penyokong yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kesesatan. Lahirlah gerakan sebuah organisasi yang disebut dengan Freemasonry yakni sebuah organisasi Yahudi yang mengusung slogan Liberty Egality dan Fraternity dan mempropagandakan persaudaraan universal tanpa memandang etnis bangsa dan agama. Organisasi itu muncul di bawah ‘baju’ seruan penyatuan tiga agama mengikis belenggu ‘fanatik’ dengan menyamakan keimanan kepada Allah maka semua adalah mukmin. Tercatat sebagai orang yang ikut terlibat menyebarkan seruan ini adalah Jamaluddin bin Shafdar Al-Afghani pada tahun 1314 H di Turki dan juga diikuti oleh murid yang sangat gigih di dalam menyuarakan seruan ini yaitu Muhammad ‘Abduh bin Hasan At-Turkumani pada tahun 1323 H di Iskandariyah.[4]
Berbentuk apapun sampul yang mereka gunakan untuk menutup, tapi tetap saja inti dari semua tindakan mereka adalah usaha pemurtadan ummat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَْالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Mereka tidak henti-henti memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agamamu seandai mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agama lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang sia-sia amalan di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.”
2.     Islam Kejawen
            Salah satu sifat dari masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Pada masa awal kedatangan Islam di Kepulauan Nusantara khususnya di Jawa, masyarakat telah menganut dan memiliki berbagai kepercayaan dan agama seperti animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Pada masa itu kepercayan dan agama tersebut telah melekat dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Namun, di samping itu dapat diketahui dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Karena kurangnya keseriusan dalam memahami dan mengamalkan agamanya, berakibat pada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual, dan tradisi dari agama lain, terutama tradisi asli pra Hindu-Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka, itulah salah satu dari beberapa penyebab adanya sinkretisme agama di Jawa.[5]
            Selanjutnya, ketika Islam mulai memasuki Nusantara, mereka yang mendapatkan hidayah segera memeluk agama Islam walau belum bisa dibilang sempurna karena kuatnya pengaruh Hindu, animisme dan kepercayaan lain.
Disebutkan dalam sejarah, Sunan Sembilan atau yang lebih dikenal sebagai Wali Sanga memasukkan ajaran-ajaran Islam melalui kebudayaan Jawa yang diadopsi dari Hindu, seperti misalnya; wayang, gamelan dan lainnya. Usaha ini tidak bisa disalahkan karena memang kondisi waktu itu yang sulit untuk menerima Islam sebagai agama yang rasionil dan dapat diterima oleh akal dan hati sekaligus. Namun pada akhirnya seiring perkembangan jaman, tradisi tersebut tetap berlanjut namun nilai-nilai Islaminya sudah luntur.
Seperti inilah yang akhirnya bertahan di era modern. Bertradisi kejawen, dengan dalih tetap beragama Islam dan mengaku muslim, tapi bahkan syari’at Islam dilanggar dan diacuhkan. Islamnya hanya sebatas KTP, karena pada nyatanya ritual sesajen, mempercayai takhayul, orang pintar, berpuasa putih, bersemedi, menerapkan ramalan (dalam istilah Jawa sering disebut primbon), tetap berjalan dengan terkadang melalaikan shalat dan berberat hati puasa Ramadhan.
Pada kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama apapun tidak lepas untuk mempercayai keyakinan di luar ajaran agama yang dianutnya. Kepercayaan itu timbul seiring dengan kejaian yang dialami seseorang. Karena ketidakmampuannya menyelesaikan masalah, maka ia mencari jalan keluar yang mungkin dapat menolong, walaupun jalan itu tidak memiliki dasar di dalam agama yang dipeluknya. Keyakinan itu akhirnya diadopsi ke dalam agama yang dipeluknya. Maka terjadilah agama yang sinkretis, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat muslim awam khususnya di Jawa.[6]
Tapi masalahnya, tidak bisa disalahkan juga terjadinya pecampuran semacam itu oleh masyarakat awam, karena pada dasarnya undang-undang yang berlaku di Indonesia memperbolehkan warganya untuk memeluk satu agama tapi sekaligus menganut beragam aliran. Dalam UUD ’45 pasal 29, ayat 2 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
 Berikut ini contoh untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme:
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari mara bahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaam Barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil.[7]
Dengan munculnya sinkretisasi terutama sinkretisasi Islam di Jawa ini, paling tidak muncul beberapa reaksi:

a.      Golongan yang taat
Adalah yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual dan kepercayaan yang tidak diajarkan di dalam keduanya tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan.
b.     Golongan yang moderat
Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah kadung mbalung sungsum, terlanjur menyatu, dengan tradisi dan adat istiadat lama, tidak boleh digunakan cara-cara radikal yang justru akan menjauhkan para mubaligh dari objek dakwah. Upacara slametan yang berkaitan dengan siklus kehidupan yang tidak ada tuntunannya di dalam al-quran dan as-sunnah tidak dilarang, tetapi dibiarkannya tetap berlangsung dengan dimodifikasi dan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya.
c.      Golongan yang bersinkretis keseluruhan
Yang menerima pemikiran ini, pertama, adalah mereka yang mengikuti langkah Empu Tantular dalam menghadapi perbedaan ajaran agama yang satu dengan yang lain. Keyakinan mereka menyebutkan bahwa semua agama beresensi sama, mereka beranggapan bahwa tidak ada salahnya apabila pemeluk salah satu agama mengambil tata cara ritual dan kepercayaan agama lain dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya. Mereka  kurang mendalami pengetahuannya tentang Islam, sehingga tidak dapat membedakan antara ajaran agama Islam yang sebenarnya dengan tradisi lokal yang sudah bercampur menjadi satu sehingga sulit dipilah-pilahkan antara keduanya.[8]
PENUTUP
            Usaha penyatuan agama maupun aliran atau yang lebih akrab disebut dengan sinkretisme dengan dalih mendamaikan antar umat beragama, menghilangkan kesenjangan, bertoleransi, meniadakan peperangan hingga meleburkan kepercayaan satu dengan yang lain adalah paham yang batil. Paham tersebut sama saja dengan istilah ‘pluralisme agama’ atau ‘teologi pluralis’ yang diserukan Yahudi untuk menghancurleburkan Islam dan memurtadkan pemeluknya. Yang akibatnya, aqidah Islamiyah tergadaikan, digantikan sesuatu yang bersifat omong kosong.
Dalam masyarakat Jawa, penerapan sinkretisme berupa penyatuan aliran kebatinan, tradisi Jawa, dan Islam itu sendiri sehingga kerap kali ajaran Islam yang kalah karena keawaman masyarakat Jawa memahami Islam sekaligus kefanatikan mereka terhadap tradisi yang diajarkan nenek moyang. Akhirnya, Islam sunni, atau yang berdasarkan pada sunnah wa - l- jama’ah digantikan oleh apa yang dikenal sebagai Islam Kejawen.
Dari situlah akhirnya tumbuh beberapa golongan yang bereaksi terhadap sinkretisasi Islam di Jawa; Golongan yang taat, yang tidak mau sama sekali memasukkan nilai tradisi non-Islami apapun ke dalam kemurnian agamanya. Golongan yang moderat, yakni yang mau bertoleransi terhadap tradisi Jawa dan memanfaatkannya sebagai sarana da’wah. Yang terakhir, Golongan awam yang menerima tradisi Jawa sepenuhnya tanpa memedulikan bahayanya terhadap statusnya sebagai muslim.




[1] http://gengkantinbanget.blogspot.com/
[2] http://id.wikipedia.org
[3] http://www.sarapanpagi.org
[4] www.asysyariah.com
[5] http://gengkantinbanget.blogspot.com
[6] Akrim Mariyat, Ajaran Sinkretisme di Indonesia, Jurnal Tsaqafah, Ponorogo, Volume 4 Nomor 1 Zulqa’dah 1428
[7] http://gengkantinbanget.blogspot.com
[8] http://gengkantinbanget.blogspot.com

Tuhan bagi Para Reformis



Oleh : Hasna S. Rasyidah, Asma Khoirunnisa dan Alfi Mawaddatur Rahmah

PENDAHULUAN
Abad 14 dan 15 merupakan masa yang paling menentukan bagi seluruh umat beragama. Masa penuh penemuan namun sekaligus masa kegelisahan bagi umat beragama. Di mana revolusi industri serta beragam penemuan berharga lainnya merajai Barat. Masa revolusi juga menimbulkan pembaharuan pemikiran keagamaan. Beberapa agamawan memberikan gagasan yang amat berpengaruh dan membawa angin segar bagi masyarakat karena sebelumnya mereka dicekoki oleh sains tanpa agama yang digagas oleh filosof masa pencerahan. Kesadaran bertuhan kembali tumbuh, barangkali karena mereka merasakan adanya kekosongan spiritual yang menyebabkan rasa tidak puas akan hasil yang mereka capai di bidang sains.
Baik Yahudi, Katolik maupun Islam masing-masing memiliki agamawan yang sekaligus merupakan reformis. Maka dari sisi itulah penulis akan memaparkan beberapa pemikiran para reformis dan gerakan-gerakan mereka dalam rangka menuai perbaikan di bidang keagamaan, tentunya.

PEMBAHASAN
Masyarakat Barat mulai menaruh perhatian kepada iman dan ketuhanan melebihi tahun-tahun sebelumnya. Sebab, orang awam tidak terlalu puas tidak dengan konsep ketuhanan mereka selama ini. Maka para Reformis menyuarakan kegelisahan mereka. Ini terlihat ketika kaum Reformis, atau kaum pembaharu keagamawan menyeru penganutnya untuk meninggalkan kesetiaaan lahiriah kepada orang suci juga malaikat dan lebih memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Maka mulai saat itu terpecahlah Eropa menjadi dua kubu keagamaan, Katolik dan Protestan, yang sampai sekarang pun tidak lepas dari saling kecurigaan dan kebencian.  
            Begitu pula yang dialami oleh kaum Yahudi. Keterusiran mereka dari Spanyol yang ketika itu dikuasai oleh Ferdinand dan Isabella pada Januari 1952,  menyisakan rasa ketertolakan yang menancap kuat di dasar sanubari mereka. Peristiwa itu disesali oleh seluruh Yahudi di dunia. Karena pengusiran lebih dari 150.000 orang Yahudi Spanyol itu merupakan pengusiran terbesar kedua setelah peristiwa penghancuran kuil mereka pada 70 M. Tetapi pengalaman tragis ini merupakan cikal bakal bagi perkembangan konsepsi baru ketuhanan mereka dan pertumbuhan Kabbalah. Para pengungsi Spanyol itu perlu menyesuaikan visinya agar bisa menyuarakan kondisi kejiwaan khas mereka. Mereka membutuhkan energi spiritual yang dapat mendukung mereka. Tetapi mereka menemukan solusi imajinatif luar biasa yang menyamakan keterusiran mutlak dengan Ketuhanan mutlak dalam konsepsi ketuhanan yang dibawa Isaac Luriac (1534-1572).
Kebanyakan mistikus Yahudi enggan untuk membicarakan pengalaman mereka tentang Tuhan. Berbeda dengan Isaac Luriac, pahlawan dan orang suci Kabbalisme Safed, yang mencoba menjelaskan paradoks transendensi dan imanensi ilahi secara lebih lengkap dengan salah satu ide paling mencengangkan yang pernah diformulasikan tentang Tuhan. Ia yang juga disebut Ari, atau Lion Kudus (nama adalah singkatan untuk Isaac Rabi Elohi, atau Isaac Rabi Godly, beberapa sumber mengakatakan bahwa ia adalah keturunan dari Ashkenazic, meskipun ia juga sering dikaitkan dengan buangan Spanyol)[1] mengangkat pertanyan-pertanyaan yang mengusik kaum monoteis;  bagaimana mungkin Tuhan yang sempurna dan tak terbatas telah menciptakan sebuah dunia yang terbatas dan sarat dengan kejahatan? Dari mana kejahatan itu berasal? Luria menemukan jawabannya dengan cara membayangkan apa yang terjadi sebelum emanasi sefiroth, ketika En Sof telah mengalihkan dirinya sendiri ke dalam introspeksi yang sublim. Demi menyediakan ruang bagi dunia, demikian Luria menduga, En Sof, seolah-olah, mengosongkan sebuah kawasan di dalam dirinya sendiri. Dalam tindakan "pengerutan" atau "penarikan diri" (tsimtsum) ini, Tuhan telah menciptakan sebuah tempat yang dia tidak berada di dalamnya, sebuah ruang kosong yang dapat diisinya melalui proses pewahyuan diri dan penciptaan yang terjadi secara serempak. Ini merupakan upaya yang sangat berani dalam mengilustrasikan doktrin penciptaan ex nihilo yang sulit: tindakan paling awal dari En Sof adalah "pengucilan sebagian dirinya atas kehendaknya sendiri" . tsimtsum pada dasarnya merupakan simbol keterusiran, yang mendasari struktur seluruh eksistensi tercipta dan telah dialami oleh En Sof sendiri. "Ruang kosong" yang diciptakan oleh penarikan diri Tuhan dikonsepsikan sebagai sebuah lingkaran yang dikelilingi oleh En Sof di semua sisinya. Ini adalah sebuah ide yang tidak berbeda dengan kenosis primordial yang pernah dibayangkan oleh orang Kristen di dalam Trinitas, yakni ketika Tuhan mengosongkan diri ke dalam Putranya melalui tindakan ekspresi diri.
Kabbalah, 10 Sephirot dalam bagan Kabbalah[2]


            Selama abad kelima belas dan keenam belas berdiri tiga kekaisaran baru Islam: kekaisaran Turki Usmani di Asia Kecil dan Eropa Timur, kekaisaran Shafawi di Iran, dan kekaisaran Moghul di India[3]. Ini membuktikan bahwa umat Islam masih memegang kekuatan terpenting di dunia. Mereka masih menjadi inspirasi untuk menyambut kebangkitan setelah terjadinya  perpecahan hebat.
 Muncul perbedaan antara tasawuf dan filsafat. Pada awal pembagian ilmu-ilmu keislaman, keduanya dianggap berbeda, dan tokoh besar sufi seperti Bayazid dan Junaid melihat diri mereka berbeda dari para filosof. Namun demikian, pada saat yang sama, banyak sufi Persia seperti Hakim Tirmidzi dan Abul Hasan Kharraqani adalah juga ahli teosofi (hakim), dan para filosof terkenal seperti al-Farabi dan ibn Sina memiliki kecintaan yang sangat dalam terhadap tasawuf, dan sebagian dari mereka, seperti al-Farabi, dalam kenyataannya mempraktikkan kehidupan sufi.
Seandainya pada periode tersebut ada penentangan terhadap tasawuf, hal ini terjadi hanya terhadap otoritas religius esoteris tertentu yang berlebihan; tetapi, selalu ada ketegangan antara dimensi esoteris dan eksoteris agama. Ketegangan ini sampai tingkat tertentu diperbaiki oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dalam dunia Sunni, dan oleh sayyid Haidar Amuli dalam dunia syi’ah. Namun demikian, di kalangan awam penentangan tasawuf terhadap intelek, seperti yang tampak dalam filsafat, tidak tampak begitu jelas. Pendangan bahwa tasawuf dan filsfat secara inheren bertentangan satu sama lain, sesungguhnya disebarkan lebih oleh puisi indah para tokoh besar sufi semacam Sana’i dan ‘Aththar, daripada oleh risalah-risalah teknis sufi atau risalah-risalah teks filsafat[4].
Iran yang saat itu dikuasai para imam Syiah  juga mengembangkan falsafah mereka sendiri, yang melanjutkan tradisi mistik Suhrawardi. Perlu diketahui bahwa para pengikut tasawuf pada zaman tersebut berusaha menegaskan perbedaan mendasar antara filsafat Yunani dan filsafat kenabian.  Begitu pula pelecehan filsafat dan “intelek”, sebagaimana tampak dalam karya Sana’i dan ‘Aththar, tampak pula dalam Matsnawi Rumi, sementara karya ini sendiri pun merupakan lautan teosofi dan makrifat, dan tidak mungkin memahaminya tanpa ilmu intelektual filsafat peripatetik umum. Maka tampillah  para ahli teosofi lainnya seperti Mir Findiriski dan Mir Damad – yang walaupun mereka menempatkan filsafat kenabian atau filsafat Yamani pada peringkat lebih tinggi ketimbang filsafat Yunani – tidak menganggap keduanya saling bertentangan[5].
 Mir Damad (w. 1631), pendiri falsafah Syiah adalah seorang ilmuwan sekaligus teolog. Dia mengidentifikasikan Cahaya ilahi dengan pencerahan figur-figur simbolik semacam Nabi Muhammad Saw. dan para imam. Seperti Suhrawardi, dia juga menekankan unsur psikologis pengalaman keagamaan.
Namun, eksponen terkemuka dari mazhab Iran ini adalah murid Mir Damad, Shadr Al-Din Syirazi, yang biasa dikenal dengan sebutan Mulla Shadra (kl. 1571-1640). Ia menjadikan filsafat pra-Socrates, pemikiran illuminasi Suhrawardi (1153-1191) dan pemikiran Ibn Arabi (1165-1240) sebagai sumber pemikirannya.[6]
Seperti Ibn Al-Arabi, Mulla Shadra membedakan antara esensi Tuhan dan manifestasinya yang beragam. Pandangannya tidak berbeda dengan hesychast Yunani dan Kabbalis. Dia memandang seluruh kosmos memancar dari esensi Tuhan untuk membentuk "satu mutiara" dengan banyak lapisan, yang bisa juga dikatakan bersesuaian dengan tingkat pengungkapan diri Tuhan melalui sifat-sifat atau tanda-tandanya(ayat). Lapisan-lapisan itu juga mewakili tahap-tahap upaya manusia untuk kembali kepada Sumber wujud[7].
Ia memiliki pandangan hebat mengenai gerak subtansi (al harakah al jauhriyah) yang membicarakan tentang terjadinya perubahan wujud alam semesta. Berbeda dengan pandangan filosof sebelumnya yang menganggap spesies sebagai sesuatu yang tetap, dalam pandangannya justru terjadi perubahan terus menerus, sehingga sebuah batu dimungkinkan menjadi tanaman, tanaman menjadi hewan dan seterusnya yang sekarang dikenal sebagai teori evolosionisme. Namun evolosionismenya ini bukan teori yang materialistik, melainkan merujuk pada perubahan-perubahan material yang bersifat acak yang terseleksi alam sebagaimana teori Darwin, tapi merupakan perubahan substantif menuju tingkat wujud yang lebih tinggi karena tarikan Wujud Tertinggi, Sang Pencipta.[8]
Banyak Muslim masa sekarang memandangnya sebagai tokoh terbesar di antara semua pemikir Islam, dan menyebut karyanya sebagai penggabungan metafisika dan spiritualitas yang telah menjadi ciri filsafat Islam.
            Gerakan protes dilancarkan oleh Martin Luther (1483-1546) di Jerman dan Calvin di kota Jenewa, Zwingl di Swiss, Jerman pada permulaan abad ke-16. Mereka menuntut perubahan dari sifat dan ajaran-ajaran Katholik yang berlebih-lebihan, seperti kekuasaan Paus yang tidak terbatas. Ajaran taat bagi rakyat terhadap para pendeta, yang mesti menerima apa yang dikatakan oleh mereka; tidak boleh menyoal dan bertanya. Bahkan sebagian gereja Katholik mengharamkan penganutnya untuk membaca Injil, cukuplah menerima apa yang dikatakan Pendeta, tanpa perlu berpikir dan menyelidiki lagi.
            Gerakan protes yang dilancarkan Luther dan kawan-kawan mendapat sambutan baik dan pengikut yang banyak sehingga tibullah suatu golongan baru dalam dunia Kristen, di samping Katholik dan Ortodoks, yaitu: Protestan.
            Berikut ini dilampirkan perbedaan yang nyata antara Katholik dan Protestan:[9]
  1. Protestan memberi kebebasan kepada para pengikutnya untuk menyelidiki dan memahamkan Injil walaupun sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan kepercayaan. Sedangkan Katholik melarangnya.
  2. Roma Katholik mengangga bahwa Paus dan para Pendeta adalah orang-orang suci yang boleh diibadati, karena itu mereka berhak menerima penebusan dosa dari hambanya dengan pembayaran yang disukainya, begitupun pahala dan kebahagiaan di akhirat dapat dibeli dari sang Paus. Sedang Protestan menentangnya.
  3. Katholik mengorganisir seluruh Gereja-gereja Katholik di dunia dan semua penganutnya uuntuk tunduk kepada seorang Imam (Paus) di Roma, sedang Protestan tidak.
  4. Katholik melarang para Imam atau Pendeta-pendetany untuk kawin (selibat) sedang Protestan tidak melarang.
  5. Protestan menolak ajaran Katholik yang menganggap roti dan anggur dalam penjamuan misa suci benar-benar akan menjadi tubuh dan drah Yesus Kristus
  6. Hak antara orang biasa dan para Imam dalam ‘Perjamuan Suci’ dalam Protestan disamaratakan sedang dalam Katholik dibedakan.
Pendapat Luther mengenai kehendak manusia juga cukup terkenal. Ia berselisih pendapat perihal qadariyah[10] atau free will[11] dengan Desiderius Erasmus (1466-1536), humanis ternama dari Belanda. Luther tidak sepenuhnya percaya akan kebebasan manusia berkehendak. Karena pada dasarnya Tuhan di atas segalanya, dan hanya Dia yang mempunyai kekuatan untuk bergerak, berkehendak dan menentukan. Pendapat ini berselisih dengan Erasmus yang percaya akan kebebasan manusia (free will) berkehendak dan bertindak.
If in fact we are not free to act, it is useless to talk about practical decision making, for all our decision must already have been determined. Luther raises this question in the context of God’s determination of all events, but the basic issue is the same with or without God. Luther, it is clear, did not believe in the freedom of the human will. But Erasmus did.[12]
               Luther menentang Erasmus yang menerima kehendak bebas dengan alasan Gereja menuntutnya. Luther mengetengahkan bahwa manusia memilih sebagaimana ia mengkendaki, tetapi kehendaknya dikendalikan oleh Allah. Maka dengan demikian sepertinya semua tindakan sudah ditentukan oleh Allah, walaupun Luther ingin mempertahankan kebebasan dala hal-hal yang tidak bersangkutan dengan keselamatan.

KESIMPULAN
Dari uraian singkat di atas, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan di antaranya;
Kaum Reformis keagamaaan adalah sekelompok orang yang menjadi pembaharu ajaran agamanya ketika terjadi kerancuan atau penyimpangan dalam ajaran tersebut. Seperti apa yang konsep ketuhanan diusung Luriac ketika para Yahudi Spanyol membutuhkan kekuatan spiritual setelah peristiwa pengusiran Spanyol.
Mulla Sadra, sebagai salah satu filsuf muslim mengemukakan suatu pemikiran yang sangat rasionil secara akal, agama maupun sains, yakni pandangannya tentang gerak substansi (alharakah al jauhariyah) yang berbicara tentang terjadinya perubahan tingkat wujud alam semesta. Hal ini sekaligus meredakan pertentangan kuat antara tasawuf dan filsafat umum.
Atau apa yang diketengahkan Luther dan Calvin dalam pandangan mereka yang menentang otoritas Gereja Katholik sekaligus mempelopori timbulnya agama baru yang jauh dari ke-konservatif-an Katholik; Protestan.


DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, Cet.VI: 2002)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996)
Hakim, Agus, K.H, Perbandingan Agama, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2004)
Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Islam Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern, (Yogyakarta: LKIS, 2004)
Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf,  Kasus Kultur Persia, dalam situs  http://www.ak-7.net63.net/
Isaac Luria, dalam situs  http//www.wikipedia.com
Isaac Luriac, Suci Innovator of Kabbalah, dalam situs http://www.learnkabbalah.com
Roth, John K. dan Frederick Sontag, The Questions of Philosophy, (California: Wadsworth Publishing Company, 1988)
Soleh, A. Khudori, M.Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004)





[1] Isaac Luriac, Suci Innovator of Kabbalah, http://www.learnkabbalah.com
[2] Isaac Luria,  http//wikipedia. com
[3] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan,(Bandung: Mizan, Cet.VI: 2002) hal: 85
[4] Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf,  Kasus Kultur Persia,  http://ak-7.net63.net/
[5] Hubungan Antara Filsafat dan Tasawuf,  Kasus Kultur Persia,  http://ak-7.net63.net/
[6] A. Khudori Sholeh, M.Ag, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal: 160
[7] Ibid, hal: s344
[8] A. Khudori Sholeh, hal: 170
[9] K.H. Agus Hakim, Perbandingan Agama, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2004), hal: 123
[10] Dari Arab qadar (daya, kekuatan). Istilah ini mengacu pada aliran peikiran Islam yang menganut kehendak bebas.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) hal: 922
[11] The idea of human volition as an independent origin of events, on a par with those operating in the world of nature; in the other words, the idea that human actions can make a significant difference in determining the other of things.
John K. Roth dan Frederick Sontag, The Questions of Philosophy, (California: Wadsworth Publishing Company, 1988) hal: 208
[12] Ibid, hal: 175-176