Sunday, May 13, 2012

Sinkretisme Aliran dan Agama


Oleh: Hasna S. Rasyidah, Asma Khoirunnisa, Tias Nurul F dan Firdausi Nuzula

PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia ditakdirkan untuk hidup bersama manusia yang lainnya. Mereka hidup bermasyarakat; saling membantu dalam kesulitan, saling menghormati hak asasi masing-masing, juga saling bertoleransi. Di samping itu, sebagai makhluk yang beragama, manusia akan senantiasa memenuhi konsekwensinya terhadap kepercayaan yang ia anut. Kedua status inilah; sebagai makhluk sosial dan beragama sekaligus, yang akhirnya memungkinkan terjadinya kemiringan dan pembelotan aqidah. Seseorang berusaha tetap beribadah sesuai kepercayaannya, tapi sekaligus ia bertoleransi terhadap kepercayaan lain, sehingga akhirnya sedikit demi sedikit kepercayaan itu luntur dan menyatu dengan apa yang tersebut dalam norma bermasyarakat sebagai kerukunan, kedamaian, ketidakbertentangan dan beberapa istilah lain yang ‘amat sosial’. Hal-hal semacam inilah yang dimaksud sebagai sinkretisasi, yang penjelasannya akan dikemukakan berikut ini.
PENGERTIAN
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal yang agak berbeda dan bertentangan. Adapun seorang tokoh Aliran Kepercayaan, Simuh, menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran, sekte, dan bahkan agama.[1]
Dalam pengertian yang lain yang serupa, sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian pertentangan perbedaan kepercayaan, sementara sering dalam praktek berbagai aliran berpikir. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.[2]
Istilah sinkretisme dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut "Mencampuradukkan agama-agama ini disebut sinkretisme".  Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa Syncretistic berarti ‘tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion’.[3]
Dari beberapa kutipan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Sinkretisme dalam agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai-bagai faham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan faham-faham itu.

PEMBAHASAN
Sinkretisme berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham yang berlainan. Paham di sini bisa berupa aliran, kepercayaan, bahkan agama. Secara gamblang bisa dikatakan bahwa paham ini adalah usaha pluralisme agama. Sebut saja begini, agama-agama yang berlainan di Indonesia ini; Hindu Budha, Kristen, Katolik dan Islam bertentangan ajarannya, kemudian dicarilah dari masing-masing agama perbedaan yang mencolok yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketidaktoleran, dari situlah perbedaan itu akan dilebur dan disatukan kembali menjadi sesuatu yang satu dan utuh, ‘Semua Agama Benar’.
Jika paham ini diterapkan sebagai sarana bertoleransi antar umat beragama, maka yang terjadi selanjutnya adalah terbentuknya masyarakat yang harmonis karena terwujudya keserasian dan toleransi antar mereka. Namun satu hal lain yang jauh lebih penting dipertimbangkan daripada ‘sekedar’ kerukunan adalah tergadaikannya iman dan konsekwensi kita sebagai muslim terhadap Allah SWT dan Muhammad SAW beserta ajaran-ajarannya.
Sesungguhnya agama Islam dengan aqidah, syariah dan tuntunannya yang termaktub dalam al Qur’an dan hadith adalah keseluruhan yang sempurna dan tidak membutuhkan reduksi, revisi, maupun tambahan dari agama lainnya. Karena itu seorang muslim haruslah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya pedoman. Firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.
Ia juga berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Jelaslah dari ayat tersebut, bahwa syariat Islam adalah suatu perkara yang tauqifiyah, artinya berasal dari Allah SWT. Dengan kata lain, segala hukum; halal, haram, mubah, makruh dan seterusnya adalah hak Allah untuk menentukan dan menetapkannya.
            Sinkretisme, jika diterapkan oleh umat berlainan agama (Yahudi, Nasrani dan Islam), maka ia akan akan mengerucut pada suatu titik bernama ‘Teologi Pluralis’. Adapun jika diterapkan dalam suatu tradisi Jawa yang agama aslinya adalah Islam, maka akan tercipta aliran Islam yang tidak lagi murni dan biasa dikenal sebagai ‘Islam Kejawen’.
1.     Teologi Pluralis
            Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan dalam kitab-Nya bahwa Yahudi dan Nashrani tengah bekerja keras utk menyesatkan kaum muslimin dari keislaman dan mengembalikan mereka kepada kekufuran serta mengajak kaum muslimin utk menjadi Yahudi atau Nashrani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekufuran setelah kamu beriman karena dengki yang dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran. maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Mereka juga berusaha menipu muslim seolah yang ditipu adalah orang-orang bodoh. Slogan mereka yaitu bahwa agama-agama seperti Yahudi Nashrani dan Islam ibarat keberadaan empat madzhab fiqih di tengah-tengah kaum muslimin, semua jalan pada hakekat menuju Allah. Slogan ini ternyata disambut baik oleh kelompok wihdatul wujud Al-Ittihadiyyah Al-Hululiyyah.
Pada pertengahan pertama abad empat belas hijriyah mulailah seruan penyatuan agama itu dikumandangkan setelah sekian lama mengakar di dada para penyokong yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kesesatan. Lahirlah gerakan sebuah organisasi yang disebut dengan Freemasonry yakni sebuah organisasi Yahudi yang mengusung slogan Liberty Egality dan Fraternity dan mempropagandakan persaudaraan universal tanpa memandang etnis bangsa dan agama. Organisasi itu muncul di bawah ‘baju’ seruan penyatuan tiga agama mengikis belenggu ‘fanatik’ dengan menyamakan keimanan kepada Allah maka semua adalah mukmin. Tercatat sebagai orang yang ikut terlibat menyebarkan seruan ini adalah Jamaluddin bin Shafdar Al-Afghani pada tahun 1314 H di Turki dan juga diikuti oleh murid yang sangat gigih di dalam menyuarakan seruan ini yaitu Muhammad ‘Abduh bin Hasan At-Turkumani pada tahun 1323 H di Iskandariyah.[4]
Berbentuk apapun sampul yang mereka gunakan untuk menutup, tapi tetap saja inti dari semua tindakan mereka adalah usaha pemurtadan ummat Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَْالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Mereka tidak henti-henti memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agamamu seandai mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agama lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang sia-sia amalan di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.”
2.     Islam Kejawen
            Salah satu sifat dari masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Pada masa awal kedatangan Islam di Kepulauan Nusantara khususnya di Jawa, masyarakat telah menganut dan memiliki berbagai kepercayaan dan agama seperti animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Pada masa itu kepercayan dan agama tersebut telah melekat dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Namun, di samping itu dapat diketahui dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Karena kurangnya keseriusan dalam memahami dan mengamalkan agamanya, berakibat pada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual, dan tradisi dari agama lain, terutama tradisi asli pra Hindu-Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka, itulah salah satu dari beberapa penyebab adanya sinkretisme agama di Jawa.[5]
            Selanjutnya, ketika Islam mulai memasuki Nusantara, mereka yang mendapatkan hidayah segera memeluk agama Islam walau belum bisa dibilang sempurna karena kuatnya pengaruh Hindu, animisme dan kepercayaan lain.
Disebutkan dalam sejarah, Sunan Sembilan atau yang lebih dikenal sebagai Wali Sanga memasukkan ajaran-ajaran Islam melalui kebudayaan Jawa yang diadopsi dari Hindu, seperti misalnya; wayang, gamelan dan lainnya. Usaha ini tidak bisa disalahkan karena memang kondisi waktu itu yang sulit untuk menerima Islam sebagai agama yang rasionil dan dapat diterima oleh akal dan hati sekaligus. Namun pada akhirnya seiring perkembangan jaman, tradisi tersebut tetap berlanjut namun nilai-nilai Islaminya sudah luntur.
Seperti inilah yang akhirnya bertahan di era modern. Bertradisi kejawen, dengan dalih tetap beragama Islam dan mengaku muslim, tapi bahkan syari’at Islam dilanggar dan diacuhkan. Islamnya hanya sebatas KTP, karena pada nyatanya ritual sesajen, mempercayai takhayul, orang pintar, berpuasa putih, bersemedi, menerapkan ramalan (dalam istilah Jawa sering disebut primbon), tetap berjalan dengan terkadang melalaikan shalat dan berberat hati puasa Ramadhan.
Pada kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama apapun tidak lepas untuk mempercayai keyakinan di luar ajaran agama yang dianutnya. Kepercayaan itu timbul seiring dengan kejaian yang dialami seseorang. Karena ketidakmampuannya menyelesaikan masalah, maka ia mencari jalan keluar yang mungkin dapat menolong, walaupun jalan itu tidak memiliki dasar di dalam agama yang dipeluknya. Keyakinan itu akhirnya diadopsi ke dalam agama yang dipeluknya. Maka terjadilah agama yang sinkretis, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat muslim awam khususnya di Jawa.[6]
Tapi masalahnya, tidak bisa disalahkan juga terjadinya pecampuran semacam itu oleh masyarakat awam, karena pada dasarnya undang-undang yang berlaku di Indonesia memperbolehkan warganya untuk memeluk satu agama tapi sekaligus menganut beragam aliran. Dalam UUD ’45 pasal 29, ayat 2 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
 Berikut ini contoh untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme:
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari mara bahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaam Barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil.[7]
Dengan munculnya sinkretisasi terutama sinkretisasi Islam di Jawa ini, paling tidak muncul beberapa reaksi:

a.      Golongan yang taat
Adalah yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau takhayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual dan kepercayaan yang tidak diajarkan di dalam keduanya tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan.
b.     Golongan yang moderat
Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah kadung mbalung sungsum, terlanjur menyatu, dengan tradisi dan adat istiadat lama, tidak boleh digunakan cara-cara radikal yang justru akan menjauhkan para mubaligh dari objek dakwah. Upacara slametan yang berkaitan dengan siklus kehidupan yang tidak ada tuntunannya di dalam al-quran dan as-sunnah tidak dilarang, tetapi dibiarkannya tetap berlangsung dengan dimodifikasi dan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya.
c.      Golongan yang bersinkretis keseluruhan
Yang menerima pemikiran ini, pertama, adalah mereka yang mengikuti langkah Empu Tantular dalam menghadapi perbedaan ajaran agama yang satu dengan yang lain. Keyakinan mereka menyebutkan bahwa semua agama beresensi sama, mereka beranggapan bahwa tidak ada salahnya apabila pemeluk salah satu agama mengambil tata cara ritual dan kepercayaan agama lain dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya. Mereka  kurang mendalami pengetahuannya tentang Islam, sehingga tidak dapat membedakan antara ajaran agama Islam yang sebenarnya dengan tradisi lokal yang sudah bercampur menjadi satu sehingga sulit dipilah-pilahkan antara keduanya.[8]
PENUTUP
            Usaha penyatuan agama maupun aliran atau yang lebih akrab disebut dengan sinkretisme dengan dalih mendamaikan antar umat beragama, menghilangkan kesenjangan, bertoleransi, meniadakan peperangan hingga meleburkan kepercayaan satu dengan yang lain adalah paham yang batil. Paham tersebut sama saja dengan istilah ‘pluralisme agama’ atau ‘teologi pluralis’ yang diserukan Yahudi untuk menghancurleburkan Islam dan memurtadkan pemeluknya. Yang akibatnya, aqidah Islamiyah tergadaikan, digantikan sesuatu yang bersifat omong kosong.
Dalam masyarakat Jawa, penerapan sinkretisme berupa penyatuan aliran kebatinan, tradisi Jawa, dan Islam itu sendiri sehingga kerap kali ajaran Islam yang kalah karena keawaman masyarakat Jawa memahami Islam sekaligus kefanatikan mereka terhadap tradisi yang diajarkan nenek moyang. Akhirnya, Islam sunni, atau yang berdasarkan pada sunnah wa - l- jama’ah digantikan oleh apa yang dikenal sebagai Islam Kejawen.
Dari situlah akhirnya tumbuh beberapa golongan yang bereaksi terhadap sinkretisasi Islam di Jawa; Golongan yang taat, yang tidak mau sama sekali memasukkan nilai tradisi non-Islami apapun ke dalam kemurnian agamanya. Golongan yang moderat, yakni yang mau bertoleransi terhadap tradisi Jawa dan memanfaatkannya sebagai sarana da’wah. Yang terakhir, Golongan awam yang menerima tradisi Jawa sepenuhnya tanpa memedulikan bahayanya terhadap statusnya sebagai muslim.




[1] http://gengkantinbanget.blogspot.com/
[2] http://id.wikipedia.org
[3] http://www.sarapanpagi.org
[4] www.asysyariah.com
[5] http://gengkantinbanget.blogspot.com
[6] Akrim Mariyat, Ajaran Sinkretisme di Indonesia, Jurnal Tsaqafah, Ponorogo, Volume 4 Nomor 1 Zulqa’dah 1428
[7] http://gengkantinbanget.blogspot.com
[8] http://gengkantinbanget.blogspot.com

No comments:

Post a Comment